SELAMAT DATANG DI TORAJA___Partner Bisnis Anda Adalah SKM KAREBA

Sabtu, 17 September 2011

AMTAK Adukan Tim 9 ke Kejaksaan

AMTAK Adukan Tim 9 ke Kejaksaan
Proses Pembebasan Lahan Bandara Kian Rumit
MAKALE ---- Belum selesai satu masalah, muncul lagi masalah baru. Kira-kira itulah gambaran proses pembebasan lahan bandara baru di kecamatan Mengkendek kabupaten Tana Toraja. Setelah sebelumnya beberapa warga mengajukan gugatan resmi ke pengadilan, kini giliran Aliansi Masyarakat Toraja Anti Korupsi mengadukan dugaan tindak pidana korupsi Tim 9 ke kejaksaan negeri Makale.
Dugaan korupsi pembebasan lahan bandara ini dilaporkan secara resmi oleh Sekretaris Jendral (Sekjen) AMTAK, Daniel Bemba ke Kejari Makale dan diterima oleh Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus (Kasipidsus) Kejari Makale, Adrianus Y Tomana, Jumat (15/9) kemarin.
Ada pun dugaan tindak pidana korupsi versi AMTAK, diantaranya soal administrasi yang kemudian berpotensi merugikan negara. Kedua mengenai objek ganti rugi berupa tanah kering di sekitar areal sawah (istilah Toraja: ra’ban dalame) yang dikategorikan oleh Tim 9 sebagai lahan pemilik sawah. Juga diduga ada oknum-oknum tertentu yang melakukan manipulasi tanah adat dengan cara mengaku sebagai pemilik tanah padahal oknum tersebut sama sekali tidak punya hak milik atas tanah yang masuk dalam lokasi pembangunan bandara.
Administrasi yang dipersoalkan AMTAK adalah surat keputusan ketua Tim 9, yang juga sekretaris kabupaten Tana Toraja, Enos Karoma nomor 3709/XII/2010 tentang pembentukan satuan tugas (Satgas) pembebasan lahan bandara, sebanyak 146 orang. Setiap anggota Satgas mendapat honor Rp 450 ribu per bulan selama enam bulan. Padahal, menurut peraturan presiden (Perpres) nomor 65 tahun 2006 bahwa dalam kegiatan pengadaan tanah SK diterbitkan oleh bupati.
“Akibat kesalahan SK ini negara berpotensi dirugikan sekitar Rp 394.200.000 untuk membayar honor Satgas,” ujar Daniel.
Pembayaran terhadap areal ra’ban dalame yang dilakukan oleh Tim 9 juga berpotensi untuk menggelapkan tanah adat (hak ulayat). Menurut Daniel, dalam budaya Toraja areal ra’ban dalame ini hanya maksimal sepanjang satu batang bambu (sanglolo tallang) dan merupakan tanah adat (tongkonan) atau tidak termasuk bagian dari sawah. Sehingga Tim 9 diduga melakukan “salah bayar” atas lahan yang masuk kategori ra’ban dalame ini dan berpotensi merugikan negara. AMTAK menduga ada oknum Tim 9 yang memanipulasi data dengan memasukkan areal ra’ban dalame sebagai bagian lahan yang mendapat ganti rugi. Besarnya ganti rugi untuk satu hektere ra’ban dalame sekitar Rp 220 juta. Dengan begitu ada indikasi kerugian negera sekitar Rp 9 miliar.
“Istilah ra’ban dalame ini hanya dikenal pada saat pengelolaan sawah untuk melindungi sawah dari hama penyakit yang diakibatkan oleh rumput atau semak di sekitar sawah dan tidak dikenal dalam transaksi tanah. Tetapi, dalam proses pembebasan lahan lokasi pembangunan bandara, ra’ban dalame bagian dari sawah yang ikut mendapat pembayaran ganti rugi. Ini sangat berpotensi merugikan negera,” tandas Daniel.
Daniel mengatakan, AMTAK siap memberikan data-data yang lebih terperinci tentang indikasi tindak pidana korupsi dalam proses ganti rugi pembebasan lahan lokasi pembangunan bandara guna mendukung upaya kejari Makale dalam melakukan penyelidikan.
“Kami berharap pihak kejaksaan bekerja serius mengusut dugaan korupsi ini. Jika mereka membutuhkan data-data tambahan yang lebih terperinci, kami siap memberikannya,” pungkas Daniel Bemba. (app)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar